Ketua STAI Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag., M.Pd.I., saat ditemui awak media diruang kerjanya, Selasa (17/09/2024) kemarin.
Natuna, SinarPerbatasan.com – Salah satu tokoh akademisi Islam, sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag., M.Pd.I., menyampaikan pandangannya terkait sosok pemimpin dari kaum perempuan. Menurutnya, dalam syariat Islam, tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk menjadi seorang pemimpin.
“Dalam Islam kan tak ada larangan. Dalam Islam itu, kita semua statusnya sama, kecuali taqwanya,” kata Umar Natuna, ketika ditemui awak media ini di ruang kerjanya di Kampus STAI Natuna, Selasa (17/09/2024) kemarin.
Menurut Umar, dalam istilah Egaliter, setiap orang memiliki kedudukan yang sama dan sederajat, baik itu kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Sama halnya di mata Tuhan Yang Maha Esa, bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, kecuali dalam segi ketaqwaan dalam beribadah kepada Tuhan mereka.
Umar mencontohkan, fakta dilapangan, banyak sosok perempuan yang sukses memimpin daerahnya. Bahkan dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik.
“Jawa Timur itu ada berapa ulama disana, pemimpinnya perempuan, Ibu Khofifah. Dalam Islam tak ada masalah pemimpin perempuan. Kalau pun ada, itu dalam konteks umum, bukan spesifik pemimpin tertentu, gitu,” tegas Umar.
Bahkan kata Umar, jika kita merujuk pada sejarah Islam, Rasullah (Nabi Muhammad SAW), sejak 15 abad yang lalu, telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengangkat derajat perempuan. Sebab, pada saat itu posisi perempuan sangat dihinakan. Bahkan, anak yang lahir dengan jenis kelamin perempuan dianggap sebagai aib.
Sejarah lainnya tentang kepemimpinan perempuan, datang dari salah satu Istri Baginda Rasulallah, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Selain sebagai istri dari Nabi terakhir, Aisyah juga dikenal sebagai tokoh wanita dalam sejarah Islam. Ia merupakan seorang pemimpin, ulama dan pendidik yang berpengaruh di masanya. Keberadaan Aisyah sangat penting untuk membantu penyebaran agama Islam dan dakwah sulit yang dilalui oleh Rasulallah.
Bahkan, Aisyah pernah menjadi seorang pemimpin perang yang luar biasa. Momen bersejarah tersebut terjadi ketika Peperangan Jamal pada tahun 656 Masehi, dimana Aisyah memainkan peran penting sebagai pemimpin wanita dalam konflik tersebut.
Selain Aisyah, Umar juga menyebutkan sosok pemimpin perempuan yang pernah tersohor di masa kepemimpinannya. Misalnya Ratu Balqis, yang merupakan pemimpin Kerajaan Saba, yang sekarang terletak di Yaman, barat daya semenanjung Arab.
“Sebenarnya nggak perlu kita perdebatkan perempuan atau laki-laki, yang penting dia punya kepedulian, punya kompetensi, punya kapasitas, punya niat untuk membangun dan seterusnya. Sekali lagi dalam syariat Islam tidak ada larangan, dan dari segi fakta lapangan juga banyak kesultanan-kesultanan Islam yang dipimpin perempuan,” tegas Umar.
Bahkan, Indonesia juga memiliki tokoh muslimah sekaligus tokoh pahlawan Nasional, yang pernah menjadi pemimpin perang melawan negara penjajah seperti Belanda. Adalah Cut Nyak Dhien, wanita asal Aceh kalahiran 12 Mei 1848 ini, dikenal karena keberanian dan kecerdasannya dalam melawan tentara Belanda, yang menyerang kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1873.
Hanya dengan bermodalkan sebilah rencong (senjata tradisional Aceh), Cut Nyak Dhien bersama pasukan rakyat Aceh, berhasil memukul mundur tentara dari negeri Kincir Angin tersebut. Namanya pun kini harum dan di abadikan sebagai Tokoh Pahlawan Nasional dari Bumi Serambi Mekah, berkat jasa-jasanya dalam membantu mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Merujuk pada sejarah Islam dan sejarah Nasional tersebut diatas, artinya tidak ada alasan bagi kita, untuk menentukan calon pemimpin berdasarkan dari jenis kelamin. Apalagi konteks perjuangan saat ini, bukan lagi tentang peperangan dalam mengusir penjajah. Namun berjuang bagaimana agar dapat memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dari segi perekonomian dan kemajuan suatu daerah.
Laporan : Erwin Prasetio