Pelaksana KP2KP (Kantor Pajak) Ranai, Kabupaten Natuna, Andrean (kanan kemeja putih), saat ditemui awak media di kantornya di Kelurahan Ranai, Kecamatan Bunguran Timur, pada Senin (27/11/2023) pagi.
Natuna, SinarPerbatasan.com – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Itulah alasannya kita sering menemukan PPN dalam transaksi sehari-hari. Sebab, dalam PPN, pihak yang menanggung beban pajak adalah konsumen akhir atau pembeli.
Sebagai bukti bahwa PPN adalah kewajiban pembeli, kita bisa menemukan PPN pada lembaran struk belanja atau pembelian. Pada struk tersebut kita dapat menemukan tulisan PPN maupun terjemahannya dalam Bahasa Inggris yakni Value Added Tax (VAT).
Pemungutan PPN ini di atur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nonor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang PPN.
Lalu apakah seluruh perusahaan atau pengusaha diwajibkan untuk dipungut biaya PPN atas usahanya, ternyata tidak. Sebab, hanya perusahaan yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang wajib melaporkan faktur pajak atas penghasilan usahanya. Sementara untuk perusahaan dengan kategori Non PKP, tidak diwajibkan.
Melansir Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 ditetapkan bahwa perusahaan dengan omzet tahunan di bawah Rp 4,8 miliar tidak wajib dikukuhkan sebagai PKP dan dimasukan dalam klasifikasi pengusaha kecil, serta masuk dalam klasifikasi perusahaan Non PKP.
Dengan status non PKP tersebut, sebuah perusahaan tidak diwajibkan memungut PPN dan menjalankan kewajiban yang melekat terkait pungutan PPN. Perusahaan non PKP juga tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN, sehingga biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) menjadi lebih rendah.
Kemudian kewajiban pajak perusahaan Non PKP adalah wajib berpartisipasi dalam perpajakan dengan menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, yang telah diubah menjadi PP Nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Kewajiban pajak perusahaan non PKP dalam PPh Final ini muncul, karena Pemerintah yakin perusahaan Non PKP bisa melakukannya, sebab perusahaan Non PKP tidak khawatir dengan efek perpajakan PPN.
PPh Final merupakan pajak yang dikenakan pada orang pribadi/badan dengan omzet maksimal Rp 4,8 miliar. Tidak seperti jenis pajak lainnya, PPh final langsung dibayar utuh saat penghasilan diterima.
PPh Final ini diterapkan dengan sistem pembayaran utuh, untuk menyederhanakan mekanisme perpajakan dan mengurangi beban administrasi wajib pajak, terutama perusahaan yang masih berkembang dan belum mampu menyelenggarakan pembukuan.
Tarif PPh Final terbaru yang ditetapkan Pemerintah adalah sebesar 0,5 persen yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Usaha dengan Penghasilan Bruto dan Kriteria Tertentu.
PP yang diberlakukan sejak 1 Juni 2018 lalu ini dibuat untuk menggantikan PP Nomor 46 Tahun 2013, dimana sebelumnya tarif PPh Final yang merupakan kewajiban pajak perusahaan non PKP ditetapkan sebesar 1 persen, dan berdasarkan PP Nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, ditetapkan sebesar 0,5 persen.
Karena kewajiban pajak perusahaan non PKP telah ditetapkan sebatas pada PPh Final, maka Pemerintah menghendaki perusahaan non PKP untuk mematuhinya dan tidak melanggar. Artinya, jika sudah dibebaskan dari kewajiban pemungutan dan pelaporan PPN, perusahaan non PKP hendaknya tidak mengusik ranah tersebut.
Sementara itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI, Nomor 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta pemotongan dan/atau pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak bagi Instansi Pemerintah, pada pasal 18 disebutkan, bahwa PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Pemerintah, dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2 juta, tidak termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2 juta.
Penerbitan faktur pajak bukan merupakan kewajiban pajak perusahaan non PKP, sehingga bila perusahaan non PKP dengan sengaja menerbitkan faktur pajak, maka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun, dan paling lama 6 tahun, serta denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak dalam faktur pajak dan paling banyak 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak.
Artinya jelas, bahwa perusahaan yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar pertahun, tidak diwajibkan untuk menanggung beban PPN sebesar 10 persen, yang saat ini naik menjadi 11 persen, dan hanya di bebani atas PPh Final, maksimal 2 persen dan minimal 0,5 persen. Sebab PPN tersebut seharusnya di bebankan kepada konsumen akhir atau pembeli.
Hal tersebut pun dibenarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Pajak Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), melalui Pelaksana Kantor Pajak Ranai, Andrean. Ia menjelaskan, bahwa transaksi PPN administrasi Pemerintah, sama halnya dengan transaksi PPN pada umumnya.
Artinya, yang menanggung beban PPN adalah pembeli atau pengguna anggaran, dalam setiap melakukan transaksi pembelian barang atau jasa kepada rekanan. Termasuk jika Pemerintah ingin membeli barang atau menggunakan jasa dari rekanan.
“Karena setiap transaksi sama instansi Pemerintah, untuk rekanannya, itu cuma perlu buat faktur pajaknya saja. Tapi untuk harga belinya, semua PPN itu tetap yang nanggung Pemerintah sebagai pembelinya, tidak di bebankan ke penjualnya,” terang Andrean, saat ditemui awak media di kantornya di Kelurahan Ranai, Kecamatan Bunguran Timur, pada Senin (27/11/2023) pagi.
Ia menjelaskan, seharusnya untuk transaksi diatas Rp 2 juta, sudah melalui PKP. Namun kata dia, kebanyakan pelaku usaha yang ada di Kabupaten Natuna, jenis usahanya tergolong kedalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang masih berstatus Non PKP, atau yang omzet pertahunnya di bawah Rp 4,8 miliar.
“Karena kalau transaksinya di atas Rp 2 juta, instansi harus dipotong PPN. Kalau nilai transaksi diatas Rp 2 juta, namun rekanannya bukan PKP, nah sebenarnya instansi Pemerintah harus mengeluarkan PPN, cuma nggak ada faktur pajaknya,” jelas Andrean.
Andrean juga menjelaskan, terhadap perusahaan penyedia jasa dan barang, hanya di bebani biaya PPh, itupun dengan nilai transaksi di atas Rp 2 juta. Dengan rincian, untuk perusahaan penyedia jasa dipungut PPh sebesar 2 persen, sementara untuk penyedia barang hanya 1,5 persen.
“Biasanya anggaran Pemerintah sudah ada post PPN. Harusnya sih dari Pemerintahnya yang ngatur,” tandas Andrean.
Terpisah, Doni Papilius, salah seorang pemilik PT Bursa Putra Mandiri, sebuah perusahaan pers yang menjual jasa publikasi dan iklan melalui situs media online, mengaku selama ini selalu di kenai PPN sebesar 10 persen, ditambah PPh 2 persen, setiap melakukan transaksi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri. Beban PPN dan PPh tersebut dipotong dari jumlah transaksi sah, yang seharusnya masuk ke kas perusahaan.
Padahal kata dia, perusahaan miliknya belum pernah mendapatkan omzet mencapai Rp 4,8 miliar pertahun. Artinya, perusahaan milik salah seorang pemuda asal Dusun Sebala, Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur itu, belum termasuk kategori PKP, yang wajib dikenai beban PPN.
“Jangan kan Rp 4,8 miliar, Rp 1 miliar saja tidak sampai, bahkan dibawah Rp 500 juta. Nah, berarti kan perusahaan saya ini masih berstatus Non PKP, yang seharunya belum wajib dibebani PPN, hanya wajib dikenai PPh saja sebesar dua persen,” tutur Doni, sedikit heran.
Doni juga membandingkan, jika potongan PPN yang selama ini ia tanggung, hanya terjadi diwilayah Pemerintahan Daerah Provinsi Kepri, termasuk di Kabupaten Natuna. Padahal kata dia, di daerah lain hanya di bebani PPh final.
“Perusahaan saya kan juga ada kerjasama dengan Pemerintah Daerah Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Disana itu setiap pencairan (pembayaran jasa publikasi – red), kami tidak pernah dipungut PPN sepuluh persen, hanya dipungut PPh saja dua persen. Tapi kalau di Natuna, selalu kena potong PPN dan PPh. Saya pun heran, kok beda ya, disini sama disana,” ungkap Doni.
Hingga berita ini di publikasikan, awak media ini belum berhasil mengkonfirmasi kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, melalui Instansi terkait, perihal pemberlakuan kebijakan pembebanan biaya PPN terhadap rekanan Non PKP, yang menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah di ujung utara Indonesia tersebut. (Bersambung)
Laporan : Erwin Prasetio