Tampak salah seorang warga Natuna, yang sedang nyuloh di Pantai Sujung, Kamis (19/01/2023) malam. (foto : Erwin)
Natuna, SinarPerbatasan.com – Malam dihari Kamis (19/01/2023), yang Aku nantikan ini pun tiba. Setelah lama mengatur janji dengan kawan lama di Natuna. Sekitar pukul 18:30 WIB, Aku pun menyambangi rumahnya di Jalan Hang Tuah, Kelurahan Ranai.
Suparman nama teman Ku, warga asli Natuna yang akan mengajak Aku melihat nikmat Tuhan di Laut Natuna.
Langit gelap berisi ratusan bintang, menjadi backgroud malam Natuna petanda cerah.
Kami pun bersiap, tak lupa perbekalan, mulai dari senter kepala, tombak, hingga sagu butir dan kelapa parut yang katanya untuk mengisi perut.
Malam ini kami tak hanya berdua, beberapa rekan Suparman lainnya sudah menunggu kedatangan kami di depan Tourist Information Center (TIC) Natuna.
Suparman pun mengarahkan motor matic nya ke arah utara Pulau Bunguran Natuna.
“Ini die lokasi kite turun,” kata lelaki kelahiran Desa Limau Manis ini, berhenti di tepi sebuah pantai, yang waktu tempuhnya kurang lebih setengah jam dari Kota Ranai.
Pantai Sujung, begitu terangnya kepada Ku yang baru pertama kali menginjakan kaki disana.
Terlihat air laut sudah surut cukup jauh dari bibir pantai. Bergegas, kami menyiapkan peralatan ‘tempur’ untuk segera turun ke laut.
“Ini namanye nyuloh, pakai tanggok kalau mau cari udang, kalau ikan kita tombak,” Suparman menjelaskan pada Ku.
Jalan mengiringi Si penunjuk cara, kaki mulai memijaki pasir dan genangan air laut se-betis kaki. Senter di kepala pun selalu menunduk ke arah air untuk melihat target yang dicari.
Tak lama bagi Sang Putra Daerah, dengan lihainya cepat melihat ikan bersembunyi di bawah karang. Berbeda dengan Ku yang masih was-was karena takut melihat sejenis tumbuhan laut mirip dengan ular.
Sekitar 1 jam Aku dan Suparman menyusuri laut, jerigen atau gelen yang dibawanya sudah diisi oleh berbagai macam biota laut. Seperti ikan, gurita, kerang, serta cumi-cumi.
Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa saja diambil oleh kami, seperti anggur laut (latoh), teripang, kepiting dan banyak lagi. Namun ambil secukupnya saja, menjadi pilihan bijak untuk mensyukuri hasil didapat.
Begitulah cara Suparman, dan warga Natuna lainnya yang telah lama Ku lihat. Tidak mengeksploitasi laut secara besar-besaran sehingga perikanan Natuna tetap lestari.
Cara menangkapnya pun masih tradisional, baik itu nelayan maupun warga yang sekedar mencari ikan untuk lauk makan. Semuanya menggunakan alat ramah lingkungan.
Sekitar pukul 23:00 WIB, kami pun menepi menyudahi nyuloh. Ku melihat rata-rata tangkapan rekan seperjalanan tadi hasilnya cukup melimpah.
Lantas, kami pun tidak langsung beranjak pulang. Sebagian hasil tangkapan, di bersihkan untuk dibakar lalu dimakan bersama. Pikirku, memakan Ikan segar seperti ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.
Dari pengalaman ini juga Aku mengerti, pantas saja kapal-kapal nelayan asing getol memasuki perairan Natuna, meski Aparat Hukum Indonesia menjadi musuhnya. Rupanya, ada gudang ikan di dasar Laut Natuna Utara.
Dalam hati Ku berkata, mungkin jika laut bisa berbicara, maka Ia akan mengatakan, “Nikmat Tuhan Mana Lagi Yang Kamu Dustakan”. (Erwin)