Sebuah pesawat militer milik TNI AU saat mendarat di Bandara Lanud Raden Sadjad Natuna dalam sebuah operasi militer. (Foto : Dok. Facebook Lanud Raden Sadjad Natuna)
Natuna, SinarPerbatasan.com – Natuna, pulau mungil yang memiliki luas tidak lebih dari 1.605 kilometer persegi. Meski hampir tidak kasat mata jika dilihat dari Peta Dunia, nyatanya Natuna memiliki sumber kekayaan alam yang sangat melimpah. Tak heran, jika pulau yang memiliki panjang sekitar 56,3 kilometer ini, menjadi rebutan oleh negara-negara tetangga.
Terhangat, China, salah satu negara Adi Kuasa di benua Asia tersebut, pernah mencoba ‘bermain api’ dengan negara Indonesia, lantaran secara sepihak telah mengklaim pulau Natuna masuk kedalam wilayah teritorialnya.
Hal itu ditandai dengan dirilisnya peta sembilan garis putus-putus berbentuk U, atau Nine Dash Line oleh Pemerintah China, dan memasukkan Kepulauan Natuna kedalam wilayah Laut China Selatan, yang mereka anggap sebagai salah satu wilayah zona tangkap nelayan tradisional China, sejak jaman nenek moyang mereka.
Berikut penampakan Nine Dash Line yang di buat China secara sepihak, dan memasukkan wilayah perairan Kepulauan Natuna kedalam wilayah teritorial China. (Foto : New York Times)
Selain itu, negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia tersebut, juga sempat melayangkan protes kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI), pada tahun 2017. Jalarannya, karena Indonesia telah melakukan pengeboran minyak dan gas bumi (Migas) diwilayah perairan Kepulauan Natuna, yang mereka klaim masuk kedalam wilayah Laut China Selatan (LCS).
Surat protes tersebut dibuat oleh Diplomat China, yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) RI. Dalam surat tersebut, China dengan jelas mengultimatum Pemerintah RI, agar menghentikan aktifitas pengeboran Migas di rig lepas pantai untuk sementara waktu, karena mereka menganggap bahwa lokasi tersebut merupakan wilayah teritorialnya.
Namun, Indonesia tak gentar. Ditahun yang sama, Pemerintah RI dibawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan tegas memerintahkan jajarannya untuk mengubah LCS diwilayah kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara (LNU), melalui sidang yang dihadiri oleh sejumlah pejabat kementerian terkait.
Rupanya, hal ini justru memantik ‘emosi’ China. Negeri tirai bambu tersebut, kembali melontarkan protes kepada Pemerintah RI. Menurut mereka, pergantian nama tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, pergantian nama tersebut tidak sesuai dengan standarisasi penyebutan wilayah Internasional.
Pesawat serang ringan Hawk 109 milik TNI AU saat mendarat di Bandara Lanud RSA Natuna beberapa waktu lalu. (Foto : Dispenau)
Selain China, Thailand dan Vietnam, adalah 2 negara tetangga di Asia Tenggara yang juga sering terlibat konflik dengan RI. Namun, kedua negara tersebut tidak pernah mengklaim sepihak, bahwa Natuna adalah milik mereka. Hanya saja, kapal-kapal penangkap ikan milik nelayan mereka, sering ketahuan mencuri ikan diwilayah perairan Natuna.
Kesimpulannya, meski memiliki luas wilayah daratan yang kecil, namun Natuna merupakan ‘Emas’ berharga bagi Indonesia, bahkan dunia. Sebab, pulau yang dihuni oleh 83.668 jiwa (akhir 2023) itu, menyimpan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah.
Perlu di ingat, Indonesia sejak lama dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan Migas terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, cadangan Migas terbesar RI berada di Kepulauan Natuna, tepatnya di Blok East Natuna, yang diperkirakan menyimpan cadangan gas sebesar 49,87 TCF. Disusul Blok Masela di Maluku, sebesar 16,73 TCF dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar sekitar 2,66 TCF.
Berkaca dari data dan kasus di atas, tentunya Pemerintah Indonesia tidak boleh memandang Natuna sebelah mata, terkait pengamanan dan pertahanannya. Dari setiap lini, harus dikerahkan untuk menjaga salah satu daerah di ujung utara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu, baik dari darat, laut maupun udara. Tentara Nasional Indonesia (TNI), adalah jawabannya. Sebab, salah satu lembaga negara itu memiliki 3 matra, yaitu TNI Angkatan Udara (AU), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD).
Peran Lanud RSA Natuna Dalam Operasi Alutsista TNI AU
Dalam rangka menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara di wilayah Kepulauan Natuna, Pemerintah RI melalui TNI AU, telah memberikan amanah kepada Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Raden Sadjad (RSA) Ranai, Kabupaten Natuna. Lanud yang kini dipimpin oleh Kolonel Pnb Dedy Iskandar, S.Sos., M.M.S., M.Han., itu, bertanggung jawab untuk melakukan misi operasi militer pengamanan NKRI, khususnya di wilayah udara Kepulauan Natuna.
Potret Lanud Raden Sadjad Natuna. (Foto : Dok. Facebook Lanud Raden Sadjad Natuna)
Kolonel Pnb Dedy Iskandar menjelaskan, bahwa Lanud Raden Sadjad memiliki peran sebagai tempat pijakan atau pangkalan aju bagi pesawat-pesawat milik TNI yang sedang melakukan operasi pengamanan. Pesawat tersebut merupakan bagian dari Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) bagi TNI.
Ada berbagai operasi militer yang dilaksanakan oleh TNI AU dengan menggunakan pesawat. Diantaranya operasi pengamatan, pengintaian, patroli serta operasi-operasi lainnya, dalam rangka menjaga keamanan dan keutuhan NKRI dari gangguan bangsa asing.
“Patroli ini kita lakukan secara rutin. Ada yang patroli langsung kembali ke homebasenya, ada juga yang harus landing dulu disini (Lanud RSA), isi logistik dan bahan bakar, kemudian terbang lagi melaksanakan patroli, sebelum kembali ke homebasenya masing-masing,” jelas Kolonel Pnb Dedy Iskandar, kepada awak media sinarperbatasan.com, Rabu (10/07/2024) siang, di Pantai Piwang, Ranai, Kecamatan Bunguran Timur.
Danlanud RSA Natuna, Kolonel Pnb Dedy Iskandar, S.Sos., M.M.S., M.Han., saat memberikan keterangan kepada sejumlah awak media di Natuna.
Pilot handal yang pernah menerbangkan sejumlah pesawat tempur milik TNI AU seperti Sukhoi, Hawk dan Super Tucano itu menyebutkan, jika Pulau Natuna ini, seperti layaknya ‘Kapal Induk’ yang dimiliki Indonesia, dan di siagakan di ujung utara NKRI, sebagai alat pendukung Operasi Militer dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) bagi TNI.
“Itu sebabnya, mengapa pesawat kita (TNI AU) tidak di tempatkan di Natuna ? Karena kita berada paling depan, sehingga di khawatirkan bisa masuk dalam jangkauan lawan, itu justru bisa berbahaya. Jadi Natuna ini hanya sebagai pijakan (landing pesawat) kita untuk bisa lebih jauh kedepan,” tegas Dedy Iskandar.
Perwira Melati 3 tamatan Akademi TNI Angkatan Udara (AAU) tahun 1998 itu mengungkapkan, jika dalam melaksanakan tugasnya menjaga keamanan di wilayah perbatasan sebelah utara Indonesia, pihaknya tidak sendirian. Namun, Lanud RSA Natuna juga selalu menjalin kerjasama yang apik dengan TNI Angkatan Laut (AL), baik dengan Gugus Tempur Laut (Guspurla) Komando Armada I (Koarmada I) maupun dengan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Ranai, Kabupaten Natuna.
Kolonel Pnb Dedy Iskandar mengakui, bahwa TNI AU dan TNI AL, sering melakukan operasi pengamanan dan patroli bersama. Dalam melancarkan operasinya, kedua matra TNI itu memiliki tugas strategis yang berbeda. Misalnya TNI AU melakukan patroli pengawasan dan pengintaian melalui udara, dan menemukan target di sebuah titik tertentu, langsung memberikan informasi kepada pihak TNI AL, yang akan melakukan pengejaran menggunakan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI).
Tugu pesawat TNI AU di pintu masuk Bandara Lanud Raden Sadjad Natuna. (Foto : Erwin Prasetio)
“Alhamdulillah sejauh ini (wilayah kita) masih aman. Ini semua berkat kerjasama dan komunikasi kita yang baik dengan pihak TNI Angkatan Laut, baik dengan Guspurla (Koarmada I) maupun dengan Lanal Ranai,” imbuh Dedy Iskandar.
Danlanud berdarah Jawa yang lahir di Kota Gresik, Jawa Timur itu, meminta kepada seluruh masyarakat di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah, untuk tidak perlu merasa khawatir, meski mereka tinggal di daerah perbatasan. Sebab kata dia, TNI AU akan selalu hadir untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan wilayah beserta penduduk yang ada di dalamnya, melalui kekuatan Alutsista yang dimiliki oleh TNI, khususnya dari Angkatan Udara.
Hal ini, sambung Kolonel Pnb Dedy Iskandar, merupakan bentuk berwujudan dari TNI AU yang AMPUH (Adaptif, Modern, Profesional, Unggul dan Humanis), sesuai keinginan dari Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI M. Tonny Harjono, S.E., M.M. dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, S.E., M.Si.
Laporan : Erwin Prasetio