Marsha Dina Chintya
UIN Raden Intan Lampung
marshadinachintya@gmail.com
Abstrak
Zakat perusahaan (corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan
tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat
perusahaan melalui upaya qiyas, yakni zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat
perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan
bersifat kolektif. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim
modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut
mengembangkan sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil
Zakat) juga ikut memperkokoh pelaksanaanya. Para ulama peserta muktamar internasional
menganalogikan zakat perusahan kepada zakat perdagangan, sebab dipandang dari segi legal
dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah dengan nishab zakat perdagangan
yaitu 85 gram emas.
Zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah, yaitu ibadan sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Dengan
semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan
kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi
saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi dizaman Rasulullah. Akan tetapi
substansinya tetap sama, dengan adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus
berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an
sebagai kitab suci yang universal dan eternal, tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi
memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Kata kunci : zakat, manajemen zakat perusahaan.
Abstract
Corporate zakat is a new phenomenon, so it is almost certainly not found in classical fiqh books.
Contemporary scholars carry out the legal basis of corporate zakat through qiyas efforts,
namely corporate zakat to trade zakat. Corporate zakat is almost the same as trade and
investment zakat. The difference is that corporate zakat is collective. This symptom began with
the initiative of modern Muslim entrepreneurs and managers to issue corporate zakat. Muslim
intellectuals helped develop this system, and finally BAZ (Amil Zakat Agency) and LAZ (Amil
Zakat Institution) also helped strengthen its implementation. Scholars who participated in the
international conference compared company zakat to trade zakat, because from a legal and
economic point of view the activities of a company are based on the nishab of trade zakat,
namely 85 grams of gold.
Zakat is a maliyah and ijtima’iyah worship, namely social and humanitarian worship that can
develop according to the development of humanity. With the increasingly rapid development
of science and technology as well as the development of economic activities of all kinds, the
development of patterns of economic activity today is very different from the style of economic
life at the time of the Prophet. However, the substance remains the same, with the existence of
human efforts to fulfill their needs. In accordance with the development of economic activities
and people’s livelihoods that continue to develop, the types of assets that are zakatable also
experience development. Al-Qur’an as a universal and eternal holy book, does not teach rigid
doctrines, but has elastic teachings to be developed in accordance with the times. This
development can be seen in the types of assets that are zakatable.
Keywords: zakat, corporate zakat management
- Pendahuluan
Al Qadadhawi menghimpun jenis ini dengan sebutan المستقبالت) harta yang
diusahakan oleh para pemiliknya untuk berusaha dengan cara menyewakannya atau
menjual hasilnya. Perbedaannya dengan harta perniagaan adalah bahwa keuntungan
yang diperoleh dalam perdagangan adalah lewat penjualan atau pemindahan benda-
benda itu ketangan orang lain. Sedangkan harta masih berada ditangan pemilik, dan
keuntungan diperoleh dari penyewaan atau penjualan produknya.
Ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan
ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syariah. Yusuf Qardhawi adalah
salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi
membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9 kategori : 1. Zakat binantang ternak, 2.
Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi
tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil
laut, 7. Zakat investasi pabrik,gedung,dan lain-lain, 8. Zaka5 pencarian jasa dan profesi, - Zakat sahan dan obligasi.
Kaidah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat
adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (Q.S. 9 :101¹ dan 2:267²), juga
berpegang pada syaraf harta wajib zakat, yakni berpotensi untuk tumbuh dan
berkembang. Karena itu harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi yang
menghasilkan harta, seperti penghasilan dari profesi
dokter,pengacara,bankir,dosen,notaris,pegawai negeri,TNI, polisi,dll. - Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan
deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder
dimana data tersebut didapat melalui kajian pustaka dan dari buku-buku serta jurnal. - Pembahasan
a. Analogi zakat perusahaan
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadits riwayat Bukhari
dari Anas bin Malik, bahwasanya abu bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur
syirkah. Sebagian isi surat itu ialah : “….. Jangan dipisahkan sesuatu yang telah
tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang
telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat, maka keduanya harus
dikembalikan (diperjuangkan) secara sama.”
Teks hadits tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat
binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog)
untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan
dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha dipandang sebagai
syakhsikah hukmiyah (badan hukum) Para individu di perusahaannya. Segala
kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk
di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang
dipandang sebagai syakhsikah hukmiyah, masih mengandung sedikit khilafiyah
dikalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena
memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada
secara formal dalam wacana fiqh klasik. Meskipun ada semacam khilafiyah,
tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah zakat,
mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif
dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakikatnya badan hukum
tersebut merupakan bagian dari para pemegang saham yang masing-masing
terkenal taklif. Justru itu, maka tidak sah lagi ia dapat dinyatakan sebagai
syakhsyiyah hukmiyah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumental ya “Al-fiqhi Al-islami wa
Adillatuhu” menuliskan : fiqh Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum
positif syakhsyiyah hukmiyah dan syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau
mujarradah (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-
lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan, dan perusahaan, sebagai
syakhsyiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi
kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban,
memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum.
Sejalan dengan Wahbah, Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “madkhal Al-
Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqh Islam mengakui adanya syakhsyiyah
hukmiyah atau i’tibariyah (badan hukum). Oleh karena zakat perusahaan, dari
zakat perusahan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan nishab dan
syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar
perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid
dalam kitab Al-Amwal dari Maimun bin mihram. “Apabila telah sampai batas
waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang
kas atau pun barang yang siap diperdagangkan, kemudian nilailah dengan nilai
uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah utang-utangmy dan
kurangkanlah atas apa yang engkat miliki.”
b. Tata cara pengeluaran zakat perusahaan
Berdasarkan kaidah diatas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola
perhitungan zakat perusahaan sekarang ini, adalah didasarkan pada neraca
(balance sheet), yakni aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset
netto). Metode ini biasa disebut oleh para ulama dengan metode syariah. Aktiva
lancar antara lain :
- Kas,
- Bank Konvensional (setelah disisihkan unsur bunga),
- Bank Syariah,
- Surat berharga (dengan nilai sebesar harga pasar),
- Piutang (yakni yang mungkin bisanya ditagih),
- Persediaan, baik yang ada di gudang,diperjalanan, di distributor dalam
bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses atau masih berbentuk
bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar.
Sabda nabi “Nilailah dengan harga pasar pada hari jatuhnya kewajiban zakat,
kemudian keluarkan zakatnya”. Kewajiban lancar antara lain : - Utang usaha,
- Wesel bayar,
- Utang pajak,
- Biaya yang masih harus dibayar,
- Pendapatan diterima dimuka,
- Utang bank (utang bunga tidak termasuk), dan
- Utang jangka panjang yang jatuh tempo.
Jadi untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat dari sebuah perusahaan,
ialah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya
2,5%. Metode syariah diatas digunakan disaudi arabia dan beberapa negara
Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan,
pengacara,dokter, pegawai negeri dan sebagiannya. Ada tiga cara pengeluaran
zakatnya yaitu :
Pertama: Dihitung dan dikeluarkan zakatnya seperti zakat perdagangan. Setiap
tahun pemilik bangunan itu, misalnya, menghitung nilai bangungan dan
hasilnya, lalu mengeluarkan 2,5% seperti zakat perdagangan. Demikianlah
pendapata Ibnu Aqil dan Ibnul Qayyim dalam pendapat Al-Hadawiyah (Syi’ah).
Kedua : Zakat dikeluarkan dari hasilnya saja, 2,5% dengan nishab emas.
Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad dan salah satu pendapat madzhab
Maliki. Dan zakatnya dikeluarkan ketika menerima penghasilan itu tanpa
menunggu masa satu tahun.
Ketiga : Zakat dikeluarkan dari hasilnya saja dan menggunakan nishab
pertanian 10% atau 5%, dan zakat dikeluarkan pada saat pembayaran tanpa
menunggu satu tahun. Pendapat ini dikemukakan oleh asy-syeikh Muhammad
abu Zahrah, syeikh Abdul Wahhab khallaf, syeikh Abdurrahman Hasan,
disepakati pula oleh Dr. Yusuf al-Qaradwahi, dengan mengambil biaya perawatan bangunan itu dari biaya sewa tahunan sebelum menentukan besaran
zakat yang dikeluarkan, agar terjadi keseimbangan antara bangunan yang
disewakan dengan lahan pertanian. Dalma cara ketiga ini disyaratkan telah
mencapai satu nishab. Dan menurut imam ahmad, penghitungan hasil itu
dengan menggabungkan hasil bulanan selama satu tahun, setelah terkumpul
baru dikurangi biaya perawatan dan dikeluarkan zakatnya.
c. Penghitungan zakat perusahaan
Zakat adalah kewajiban individu dan perusahaan yang mukalaf. Hal ini
sesuai dengan perintah Rasulullah, bahwa : “Rasulullah Saw memerintahkan
kami agar mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk
berdagang”. (HR. Abu Dawud). Adapun ketentuan yang dapat dirujuk untuk
menghitung zakat perusahaan adalah sebagai berikut : - Berjalan satu tahun, pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu
dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir
dalam satu tahun kemudian dikeluarkan zakatnya. - Nisab zakat perusahaan sama dengan nisab emas yaitu senilai 94 gr emas.
- Kadarnya zakat sebesar 2,5% .
- Dapat dibayar dengan uang atau barang.
- Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
Berdasarkan ketentuan umum tersebut, selanjutnya dihitung dengan
berdasarkan formula perhitungan zakat perusahaan, sebagai berikut :
(Modal diputar+keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) – (utang+kerugian) x 2,5%
Penerapan perhitungan zakat perusahaan dapat dilakukan dengan contoh
sebagai berikut :
Contoh :
“Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, Industri,
argoindustri,atapun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha
(seperti PT,CV,Yayasan,koperasi,dan lainnya) nisabnya adalah 20 Dinar
(setara dengan 85 gram emas murni). Artinya ketika suatu badan usaha pada
akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih
besar atau setara dengan 85 gr emas (asumsi jika per-gram Rp.100.000,- =
Rp.8.500.000,- maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.
Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua
anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum
dibagikan kepada pihak-pihak yang ber-syirkah. Akan tetapi jika anggota
syirkah terdapat orang yang non-muslim, maka zakatnya hanya dikeluarkan dari
anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari nisab). Kekayaan
yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga
bentuk yakni sebagai berikut: - Kekayaan dalam bentuk barang
- Uang tunai
- Piutang
Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang wajib dizakati adalah
yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh 1 :
Sebuah data perusahaan mebel pada tutup buku per Januari tahun 20XX
dengan keadaan sebagai berikut : - Sofa atau mebel belum terjual 5 set Rp. 10.000.000
- Uang tunai. Rp. 15.000.000
- Piutang. Rp. 2.000.000
- Jumlah. Rp. 27.000.000
- Utang & pajak Rp. 7.000.000
- Saldo Rp. 20.000.000
- Besar zakat=2,5%x Rp. 20.000.000,-. = 500.000,-
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan
atau lemari, etalase pada toko, dan lainnya tidak termasuk harta yang
wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori berang tetap (tidak
berkembang). Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan,
penyewaan apartemen, taksi, rental mobil, kapal laut dan lainnya
kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih antara 2 (dua) cara :
a. Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan
perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti
taksi, kapal, hotel, dan lainnya kemudian dikeluarkan zakatnya
2,5%.
b. Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil
bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian
zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan
zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya
didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan
adalah sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang.
Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi
meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin
kerjasama. Menurut ulama, zakat perusahaan dianalogikan kepada
perdagangan maka pola perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya
juga mengacu pada zakat perdagangan; nishab senilai 85 gr emas,
mencapai haul, tarifnya 2,5%. - Kesimpulan
Zakat merupakan suatu ibadah berdimensi sosial yang disejajarkan dengan
kewajiban shalat yang membutuhkan pemahaman terhadap ketauhidan, kesadaran, dan
toleransi yang tinggi terhadap sesama manusia dalam pelaksanaannya. Zakat
perusahaan adalah zakat perniagaan dengan menghitung aktiva lancar dikurangi
dengan kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan atau konsep akuntansinya
berdasarkan pada neraca bukan laba rugi.
Zakat perusahaan dianalogikan pada zakat perdagangan sesuai pendapat muktamar
zakat internasional, serta berdasarkan pendapat para ulama, yaitu abu ishaq asy syabitu,
seperti yang disampaikan “ Hukumnya adalah seperti hukum zakat perdagangan,
karena memproduksi dan kemudian menjualnya, atau membuat apa yang diproduksi
sebagai perdagangan, maka harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun berupa stok
barang yang ada ditambah nilai hasil penjualan yang ada yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islami,
terjemah Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Abu ‘Ubaid Al-Qasim, Kitab al-Amwal
Hariaanto, Syawal, “Analisis Metode Penelitian Zakat Perusahaan.” Jurnal Ekonomi
dan Pembangungan (Ekonomika) 6, no. 11 (2014) 1-12.
Muhamad, Zakat Profesi : Telaah Fikih Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah Analisis Fikih & Keuangan Edisi Kedua,
Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2019