BerandaDaerahDPRD Natuna Minta Kejelasan Batasan Operasi bagi Nelayan Tradisional

DPRD Natuna Minta Kejelasan Batasan Operasi bagi Nelayan Tradisional

Ketua Komisi II DPRD Natuna, Marzuki, saat di temui di ruang kerjanya di Kantor DPRD Natuna, Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Batu Hitam, Rabu (04/01/2023) pagi. (foto : Sholeh)

Natuna, SinarPerbatasan.com – Ketua Komisi II DPRD Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Marzuki, meminta penjelasan kepada Dinas Perikanan Provinsi Kepri, terkait adanya batasan atau larangan operasi bagi nelayan tradisional daerah itu pada wilayah tertentu.

“Kita akan mengundang UPT Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kepri di Komisi II, rapat tentang masalah ini,” kata Marzuki, saat di temui sinarperbatasan.com, Rabu (04/01/2023) pagi, diruang kerjanya di Kantor DPRD Natuna, Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur.

Ia membenarkan adanya keluhan para nelayan terkait hal tersebut, karena tertuang dalam surat Tanda Daftat Kapal Perikanan (TDKP) yang diberikan kepada nelayan.

Sementara, salah satu nelayan tradisional asal Sedanau, Natuna, Djoko Suprianto yang memiliki kapal ikan dengan ukuran 5 gross ton menjelaskan bahwa mereka dilarang beroprasi pada wilayah diatas 12 mil berdasarkan TDKP tersebut.

“Saya baru memperhatikan, dulu tidak tau sudah ada atau belum larangan itu, kurang teliti saya, TDKP yang baru ini ada larangan itu, ada tulisannya di belakang lembaran TDKP,” katanya.

Sementara itu, Ia mengatakan kebiasan mereka menangkap ikan diatas 12 mil bahkan hingga ke ZEE pada musim tertentu, jika ada larangan tersebut dinilai akan merugikan mereka sebagai nelayan tonda dan pancing ulur.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg

“Hari hari saya pergi pagi pulang sore saja bisa sampai 20 hingga 30 mil, kalau musim teduh bisa ratusan mil, tapi kalau sekarang mungkin tidak bisa lagi karena kite cume dapat jatah BBM 300 liter saja untuk jatah satu bulan,” ungkapnya.

Tidak hanya wilayah tangkap, menurutnya pembatasan jumlah bahan bakar berdasarkan TDKP juga dinilai merugikan nelayan tradisonal yang membutuhkan solar lebih banyak agar bisa lebih lama berada di laut.

Terkait hal tersebut, Kepala Pelaksana Harian (PLH) UPT Cabang Kelautan dan Perikanan Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Febriyadi menjelaskan bahwa larangan pada zona tertentu bagi nelayan tonda memang telah tertuang didalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Ini terkait permen KP no 18 tahun 2021 tentang penempatan alat penangkapan ikan,” ujarnya.

Ia juga mengatakan ada beberapa larangan yang terdapat pada peraturan tersebut bagi nelayan tonda dan berdasarkan ukuran kapal serta diatur wilayah tangkapnya berdasarkan zona tertentu.

“Biar tidak ada salah pemahaman berikut ketetlrangan jalur, 1A adalah 0 mil sampai dengan 2 mil, 1B adalah 2 mil sampai dengan 4 mil, jalur II, 4 mil sampai dengan 12 mil dan jalur III, 12 mill sampai dengan 200 mil,” jelasnya.

Sementara untuk kapal nelayan tonda dengan muatan 5 GT hanya dibolehkan beroprasi di jalur 1B dan II artinya 2 mil sampai dengan 12 mil, sedangkan untuk nelayan tonda dengan kapal 6 GT ke atas hanya boleh beroprasi di jalur II yaitu 4 mil sampai dengan 12 mil. (Sholeh)

Editor : Imam Agus

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine



Google search engine

Google search engine

Google search engine

Most Popular

Recent Comments

https://ibb.co/hBb6x82