Tampak masyarakat di Dusun Meso, Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, saat bergotong-royong mencari kayu bakar untuk tetangga mereka yang akan melaksanakan gawai, Rabu (15/02/2023) pagi. (foto : Zaki)
Natuna, SinarPerbatasan.com – Gotong-royong merupakan salah satu budaya yang diturunkan oleh nenek moyang masyarakat Indonesia. Namun dengan berkembangnya jaman, budaya gotong-royong sudah mulai banyak ditinggalkan.
Namun berbeda dengan masyarakat yang ada di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), budaya gotong-royong masih sangat sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Terutama saat ada tetangga atau saudara yang hendak melaksanakan gawai atau acara adat.
Salah satunya yang terlihat di Dusun Meso, Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, warga saling bahu membahu untuk melakukan gotong-royong, guna membantu warga lain yang akan melangsungkan gawai untuk pernikahan putri mereka.
“Karena ada warga kita yang mau melaksanakan acara pernikahan, jadi kami lakukan gotong-royong, ada yang bagian memasak, ada yang tukang cari kayu api (kayu bakar, red), ada yang bagian menyiapkan tempat hajatan, pokoknya bagi tugas lah,” ucap Zulpi (31), saat ditemui sinarperbatasan.com di Dusun Meso, Desa Batu Gajah, Rabu (15/02/2023) pagi.
Saat itu, Zulpi bersama warga Dusun Meso lainnya, sedang sibuk untuk mencari kayu bakar di tepian sungai Pian Tedung, Desa Batu Gajah.
Kayu bakar yang biasa di pakai untuk memasak adalah jenis kayu bakau atau mangrove, karena memiliki tekstur yang sangat keras, sehingga dapat menghasilkan api yang sangat panas ketika dibakar.
“Tapi yang kami ambil ini adalah ranting bakau yang sudah kering, bukan yang basah. Kayu bakau ini kalau di pakai untuk kayu api, bisa tahan lama, karena kayunya keras. Dan biasanya lebih panas apinya, terus juga tidak terlalu berasap,” imbuh Zulpi.
Sementara itu Zani, yang juga merupakan kawan Zulpi untuk mencari kayu bakar, menuturkan, jika selama mereka melakukan gotong-royong membantu warga lain yang sedang memiliki hajatan, tidak pernah meminta upah sepeserpun kepada warga yang memiliki gawai tersebut.
“Kalau disini namanya gotong-royong ya nggak pernah di upah. Kita membantu secara suka rela, nanti kalau las kita yang punya gawai, ya giliran orang yang bantu kita. Palingan kami yang ikut gotong-royong ini, hanya diberi air minum dan snack saja,” jelas Zani. (Zaki)
Editor : Imam Agus