Panen padi organik di Desa Tapau, Kecamatan Bunguran Tengah, Kabupaten Natuna, pada Selasa (21/11/2023). (Foto : JR Manalu)
Natuna, SinarPerbatasan.com – Berada di ujung utara Indonesia, Natuna, merupakan sebuah pulau kecil yang masuk ke dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menjadi salah satu daerah yang masih banyak bergantung dengan daerah lain di Indonesia, dalam memenuhi berbagai kebutuhan bagi penduduknya.
Pangan, menjadi salah satu kebutuhan vital bagi seluruh makhluk hidup di dunia, termasuk manusia. Kabupaten Natuna sendiri, belum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya. Alhasil, lebih dari 99 persen kebutuhan pokok pangan yang di konsumsi masyarakat setempat, harus di datangkan dari luar daerah. Kebutuhan pokok pangan tersebut salah satunya adalah beras.
Hampir dan bahkan seluruh masyarakat Natuna, mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Nasi sendiri adalah hasil dari beras yang dimasak. Beras adalah bahan setengah jadi, yang dihasilkan dari tanaman padi. Masalahnya, pertanian padi di Natuna sendiri, masih terbilang sangat-sangat minim, dan jauh dari kata cukup.
Pertanyaannya, jika suatu saat terjadi krisis pangan dunia, dan negara-negara yang biasa mengekspor beras ke Indonesia, seperti India, Thailand, Vietnam dan Myanmar, menghentikan ekspor beras mereka ke Indonesia, bagaimana dengan nasib masyarakat Natuna. Sebab selama ini mereka banyak mengkonsumsi beras produksi petani luar negeri, meski sebagian dari hasil pertanian di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Apakah masyarakat Natuna sudah siap untuk beralih konsumsi dari nasi ke jenis pangan lain, seperti jagung, sagu atau ubi ?.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Natuna, H. Ismail Sitam, saat ditemui diruang kerjanya, Jum’at (17/11/2023) pagi.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Natuna, H. Ismail Sitam, mengaku kekhawatiran ini juga di rasakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna. Namun, kondisi alam Natuna yang tidak sama dengan daerah lain penghasil padi di Indonesia, menjadi salah satu “batu sandungan”, kenapa sampai saat ini Natuna masih bergantung beras dari daerah lain.
Ia mencontohkan, jika air yang terkandung di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah (jukukan Natuna), memiliki kandungan asam yang cukup tinggi, sehingga kurang cocok untuk tanaman padi. Memang ia mengakui, sudah banyak petani di daerah ujung utara NKRI itu, yang mencoba membudidayakan tanaman padi, namun hasil produksi yang di dapat cukup minim, bahkan jauh dari kata maksimal.
“Memang untuk pengairan, sudah banyak air yang bisa di alirkan ke sawah-sawah, tapi kadar asamnya masih cukup tinggi, sehingga padi ditempat kita tumbuhnya kurang subur. Lalu air itu bisa masuk menggenangi padi, tapi tidak bisa keluar lagi. Padahal teknisnya tanaman padi itu, ada masa dimana dia membutuhkan air, dan ada masa dimana lahannya harus dikeringkan, ini yang menjadi kendala kita,” ujar Ismail Sitam, saat ditemui awak media ini diruang kerjanya, Jum’at (17/11/2023) pagi.
Masalah lain, sambung Ismail, penyediaan bantuan benih padi dan pupuk dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, sering terlambat. Ia mencontohkan, terkadang saat memasuki musim penghujan, dimana sawah-sawah petani siap untuk ditanami, namun bantuan benih padi dan pupuk lambat tersalurkan, sehingga masa tanam padi pun terlewatkan.
Namun ia mengaku tidak menyalahkan Pemerintah Pusat maupun Provinsi. Sebab dalam penyalurannya, bantuan benih padi dan pupuk harus melalui banyak proses adminsitrasi, dari mulai lelang, pengadaan, hingga pendistribusian. Yang kesemuanya itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Natuna, H. Ismail Sitam, saat memberikan keterangan kepada sejumlah awak media.
“Memang ada sebagian petani kita yang berinovasi dengan membuat benih padi secara mandiri, namun hasilnya kurang maksimal. Kalau mau mendapatkan hasil maksimal, memang harus menggunakan benih dari produsen benih profesional, yang telah teruji kualitasnya. Tapi ya itu, sering terlambat datangnya. Kalau pun mau kita tanam di musim berikutnya, kualitas benihnya juga sudah menurun. Jadi seperti simalakama,” keluh Ismail.
Kemudian, lanjut Ismail, di Kabupaten Natuna, khususnya di Pulau Bunguran Besar, terdapat berbagai macam jenis hama perusak, yang menjadi musuh besar bagi para petani. Seperti babi hutan, monyet, tikus, burung, ulat dan wereng, yang dapat mengganggu tanaman seperti padi.
“Makanya untuk di Natuna ini, yang terbilang berhasil dalam penanaman padi itu di Desa Payak, yang ada di Pulau Serasan. Disana hama kurang, karena babi tidak ada, tikus dan burung kurang. Palingan musuhnya hanya monyet, itu pun bisa di antisipasi. Tapi ya itu, produksinya masih sangat terbatas,” katanya.
Dari data yang ada di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Natuna, luas sawah yang siap ditanami padi, tercatat sekitar 365 hektar. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 30 persen yang telah digarap dan berproduksi. Kemudian dari 30 persen luas sawah yang digarap tersebut, hanya mengasilkan gabah tidak lebih dari 30 persen dari produksi maksimal.
“Jadi kalau untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat kita, memang masih sangat jauh. Bahkan bisa dikatakan, beras dari hasil padi yang ditanam itu, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan beras selama setahun bagi orang yang menanamnya. Makanya sampai sekarang pasokan beras kita masih bergantung dari luar daerah,” ujarnya.
Bendungan Kelarik di Natuna, dibangun dari uang APBN ratusan milyar, namun hingga saat ini belum dimanfaatkan.
Namun, lanjut Ismail, Bupati Natuna, Wan Siswandi, telah memiliki rencana untuk mencetak sawah baru, dengan memanfaatkan Bendungan Tapau di Kecamatan Bunguran Tengah dan Bendungan Kelarik di Kecamatan Bunguran Utara.
“Beliau (Bupati, red) sudah menyampaikan itu, agar bendungan yang ada itu bisa dimanfaatkan. Karena sayang, Pemerintah Pusat sudah bangun bendungan dan menghabiskan biaya ratusan milyar, namun belum difungsikan. Kedepan ini akan kita pikirkan, bagaimana bendungan yang telah ada bisa di manfaatkan untuk lahan pertanian, khususnya padi, sebagai upaya untuk mewujudkan Natuna sebagai lumbung pangan,” tutur Ismail.
Kedepan, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, akan membuat perjanjian kerjasama atau MoU dengan para pemilik lahan persawahan, agar lahan mereka kedepan tidak di alih fungsikan untuk hal lain, selain tanaman padi.
“Ini salah satu rencana dan langkah kita kedepan, supaya luas lahan pertanian kita tidak berkurang. Bahkan kalau bisa justru bertambah, agar kita bisa swasembada pangan, terutama beras,” pungkas Ismail Sitam.
Sebagai informasi, ada beberapa wilayah di Kabupaten Natuna, yang masyarakatnya mulai menggarap lahan persawahan mereka untuk tanaman padi. Seperti di Kecamatan Bunguran Tengah, Kecamatan Bunguran Batubi, dan Kecamatan Serasan Timur. Meski demikian, hasil panen padi mereka belum mampu memenuhi kebutuhan beras bagi masyarakat Natuna, walaupun hanya seper sepuluhnya.
Lahan persawahan di Kecamatan Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna.
Artinya, ini masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi Pemerintah Daerah dan Petani di daerah berjuluk Mutiara Diujung Utara Indonesia tersebut, bagaimana agar dimasa mendatang dapat mewujudkan swasembada pangan, khususnya beras.
Apalagi, dunia sedang di hebohkan dengan fenomena alam yang disebut El Nino. El Nino sendiri merupakan pola cuaca kompleks akibat variasi suhu laut di Pasifik Khatulistiwa. Ditinjau dari aspek pertanian, maka secara umum El Nino dapat menurunkan produksi dan produktivitas pertanian, termasuk tanaman pangan seperti padi (beras). Perubahan dalam produksi pertanian akibat El Nino dapat menyebabkan ketidak stabilan pasar. (Erwin)
Editor : Imam Agus